• Diskripsi pertama oleh Francois Gigot de la Peyronie
tahun 1743.
• Kebanyakan tidak dibutuhkan pembedahan.
• Pembedahan dipandang sebagai tindakan paliatif untuk efek
mekanik dari penyakit peyronie dan disfungsi ereksi.
• 30-40% Berhubungan dengan Dupuytren disease, Ledderhorse
disease, dan tympanosclerosis (Nyberg et al 1982, Ralph et al 1997)
• Eksternal trauma, diabetes melitus, gout à unclear
• Paget disease à masih membutuhkan penelitian dengan sampel besar
• Berhubungan dengan pengunaan ß-adrenergic blocker
generasi pertama
• Instrumentasi urethra pernah diteliti menyebabkan
penyakit peyronie. à Pasien yang sebelumnya ereksi lurus setelah dilakuan
pembedahan transurethra à tampak melengkung à kebanyakan tidak komplain
• Kelami Syndrome à fibrosis pada corpus spongiosum yang parah sehingga
membatasi ekpansi dari corpora cavernosa ventral.
• Phenytoin à hyperplastic tissue growth phenomena (gingival
hyperplasia) à belum ada pelaporan.
• Insidensi penyakit peyronie simptomatik berkisar 1 % pada
kulit putih.
• Rata-rata onset pada usia 53 tahun
• Prevalensi penyakit peyronie asimptomatik 0,4-1%
• Pada penelitian 100 jenazah tanpa diketahui riwayat
peyronie, autopsi 22 jenazah menemukan lesi fibrotik pada tunica albuginea yang
menyerupai penyakit peyronie (Smith 1969, Gelbard 1990, Lindsay 1991).
• Insidensi diduga meningkat à pengobatan peningkat ereksi.
Faktor Penyebab
• Somers
dan Dawson (1997) à trauma tertekuk pada insersi septum tunica
albuginea à intervasasi darah dan aktifasi fibrinogen à trombosit à serotonin à fibrosis
• Efek trauma à migrasi makrofag, neutrofil, dan sel mast à sekresi
sitokin, faktor vasoaktif à fibrosis
• Kondisi avaskular dari tunika albuginea à clerance
growth faktor↓(TGF-β) à autoinduksi à inhibisi kolagenase à meningkatkan jaringan ikat à fibrosis à pembentukan plaq
• Stress oksidatif à pelepasan sitokin à as profibrotic factors à plaq
(Ferrini
et al, 2002; Vernet
et al, 2002; Valente et al, 2003).
• ROS (Reactive Oxygen Species) à profibrotic processes
(Becker et al, 2001; Intengan et al, 2001).
Patofisiologi
• 2 Fase :
• Fase aktif à ereksi yang menyakitkan, deformitas
• Fase diam/stabil à deformitas yang stabil, menghilangnya nyeri ketika
ereksi
• 1/3 sudden painless deformity
• Penyakit peyronie adalah penyakit penuaan jaringan pada pasien dengan
youthful libido (Williams and Thomas,
1970; Gelbard et al, 1990; Carson et al, 1999; Rosen et al, 2008) à Posisi bervariasi, less firm erection.
• Female superior postion à potensial traumatic
• Gelbard (1990) à Disfungsi ereksi, ereksi tidak maksimal à penyakit peyronie
• Hubungan disfungsi ereksi dengan penyakit peyronie :
• Disfungsi ereksi sebelum onset peyronie (Gelbard et al,
1990)
• Disfungsi ereksi bersamaan dengan onset peyronie (Palese
et al, 2004)
• Disfungi ereksi setelah onset peyronie à physicologial
effect (Nelson et al 2008)
• Jones
(1997) à He describes counseling a patient with Peyronie’s disease as being much the
same as counseling a
person who has suffered a death and is grieving
Gejala
• Nyeri penis ketika ereksi
• Kelainan bentuk penis, baik ketika flaccid maupaun ereksi
• Pemendekan penis dengan atau tanpa ereksi
• Area plaque atau indurasi pada penis
• Disfungsi ereksi
Pemeriksaan
Fisik
• Terdapat plaq yang jelas atau area indurasi yang dapat
diraba.
• Biasanya pada permukaan dorsal penis, berhubungan dengan
insersi septum
Evaluasi
Pasien
• Anamnesis :
• jenis onset (tiba-tiba atau bertahap), waktu onset
• Riwayat operasi penis sebelumnya, instrumentasi.
• Trauma
• Riwayat penggunaan obat
• Riwayat fibromatosis (Dupuytren disease dan Ledderhose
disease)
• Faktor resiko disfungsi ereksi.
• Pemeriksaan fisik :
• Foto penis pasien ketika ereksi à arah dan derajat kelengkungan, dan informasi mengenai
fungsi ereksi.
• Penis direnggangkan à diraba plaq, dinilai lokasi, ukuran, dan konsistensi.
• Dibuat diagram ilustrasi penis secara longitudinal dan
cross section.
• Pemeriksaan tangan dan kaki àpembentukan kalus pada tangan yang tidak dominan à penyakit
Dupuytren nonkontraktil.
• Pemeriksaan kaki à nodul permukaan plantar à kecurigaan penyakit Ledderhose
• Pemeriksaan telinga à tympanoslcerosis
• Pencitraan :
• USG : menunjukkan kalsifikasi
• Foto polos à dpt menunjukaan kalsifikasi
• CT Scan & MRI à tidak direkomendasikan
• Pemeriksaan USG dopler à Evaluasi post operatif atau menggunakan prosthese
Injeksi
Intralesi
• Injeksi kortikosteroid à dihentikan/hati2 à efek samping lokal, peningkatan kelengkungan à kurangnya
penelitian, komplain pasien perburukan kondisi.
• Injeksi verampil (menghambat eksositosis dari kolagen,
fibronektin, dan glikosaminoglikan) à serial 12 injeksi (10mg/20ml) setiap 2 minggu à perbaikan
ukuran plaq dan lengkungan
• Injeksi collagenase à 10,000 dalam 0.25 mL selama 7-10 hari à perbaikan pada 3 bulan-6 bulan.
• Injeksi interferon à cara kerja dan efektif = verampil
Terapi Lain
• Terapi topikal àkombinasi dengan terapi iontophoresis/electromotive
therapy. Agen topikal : orgotein (withdrawn), steroids, verapamil, and β-aminopropionitrile à single atau dicampur
• Terapi Radiasi à dihindari karena potensi menjadi keganasan dan disfungsi
ereksi. (Lue et al, 2004).
• ESWL à no control study.
• Vaccum à not been adequated studied
Terapi
Pembedahan
• Kasus yang stabil dan matur à kandidat pembedahan
• Stabil à tidak nyeri, kelengkungan sama.
• 12-18 bulan dari onset
• Indikasi lain à deformitas dan atau gangguan ereksi yang mengganggu
intercourse.
• Pryor dan Fitzpatrick (1979) à prosedur eksisi dan plikasi dari aspek yang berlawanan
dari lesi peyronie. à mengalami pemendekan à not well accepted oleh beberapa pasien.
• Yachia (1993) à Tehnik Corporoplasty
• Gelbard (1989) à Tehnik operasi insisi
plaq peyronie + graft fascia
• Das dan Amar (1982), Lockhart (1995) à esksisi plaq
dan defek corporotomy dilakukan graft dengan tunika vaginalis.
• El-Sakka and Collageus (1998) à insisi dan menempel defek corporotomy dengan graft vena.
à metode pembedahan
yang memuaskan.
• Knoll (2001) à menggunakan graft submukosa usus halus procine
• Devine dan Horton (1974) à plaque dilakukan
eksisi dan diganti dengan graft dermal.