Patogenesis
Dengan bertambahnya usia akan terjadi
perubahan keseimbangan testoteron estrogen, karena produksi testoteron menurun
dan terjadi konversi testoteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di
perifer. Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah
dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus
berkembang akan terjadi perubahan patologi anatomik.
Pada tahap awal setelah terjadi
pembesaran prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah prostat meningkat
dan detrussor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrussor ke dalam kandung
kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut
trabekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara
serat detrusor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan
yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase
kompensasi otot dinding. Apabila keadaan berlanjut maka detrussor menjadi lelah
dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi
sehingga terjadi retensi urin.
Patofisiologi
Biasanya ditemukan gejala dan
tanda obstruksi dan iritasi.
Gejala obstruksi, yaitu
Hesitency à Gejala harus menunggu pada
permulaan miksi
Intermitency à Miksi terputus
Terminal dribling à Menetes pada akhir miksi
Pancaran miksi menjadi lemah,
Rasa belum puas sehabis miksi.
Gejala iritatif, yaitu
Frequency à Bertambahnya frekuensi miksi
Nokturia
Urgency à Miksi sulit ditahan dan
Dysuria à Nyeri pada waktu miksi
Gejala obstruksi disebabkan oleh
karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi
cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus sedangkan gejala iritatif
disebabkan oleh karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau
pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesika, sehingga vesika sering
berkontraksi meskipun belum penuh.
Apabila vesika menjadi dekompensasi,
akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin
didalam kandung kemih, dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika
keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga
penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi maka pada
suatu saat vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika
terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi daripada tekanan
sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks.
Retensi kronik menyebabkan refluks vesico-ureter, hidroureter,
hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila
terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus selalu mengedan sehingga lama
kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin
dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah
keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks, dapat terjadi pielonefritis.
Ada 2 faktor patofisiologi yang telah diketahui mutlak terjadinya
pembesaran prostat jinak yaitu : bertambahnya umur dan pengaruh hormon
androgen.
Menurut Caine (1996) pembesaran kelenjar prostat, pada hakekatnya
mengakibatkan suatu sumbatan leher kandung kemih melalui 2 mekanisme yang
penting, yaitu
1. Mekanisme mekanik atau statis, yaitu apabila kelainan itu
bersifat anatomik terjadi akibat perubahan volume, konsistensi dan bentuk
kelenjar prostat
2. Mekanisme dinamik atau fungsional, yakni bersifat kelainan
neuromuskuler oleh serabut otot polos pada urethra pars prostatika, kelenjar
prostat dan kapsula.
Pada tahun 1983 Mc.Neal membuktikan terdapat perbedaan yang sangat
jelas mengenai morfologi fungsional dan patologi pada kelenjar prostat. Dan
membagi kelenjar prostat dalam 4 lobus yaitu :
(1) Stroma fibromuscular anterior,
(2) Zona perifer,
(3) Zona sentral
(4) Jaringan pre prostatik.
Jaringan pre prostatik merupakan lapisan tebal terdiri atas epitel
kelenjar dan serabut otot polos silindris bercampur, mengelilingi urethra
pars prostatika proximal, berfungsi sebagai spincter mencegah refluk
semen ke kandung kemih pada waktu ejakulasi. Sebelah dalam lapisan ini terdapat
kelenjar periurethral, dengan ductus–ductusnya yang meluas kesamping dan
sebelah luar lapisan tersebut pada titik pertemuan segmen proximal dan distal
urethra pars prostatika disebut zona transitional. Tempat dimana timbul proses
patologi hipertropi kelenjar prostat ini adalah zona transitional dan zona
perifer urethral, yang mendesak kelenjar prostat sebenarnya (true prostat) ke
zona perifer (Outer zone) membentuk capsul (False capsul) dari
serabut otot polos. Dan mendesak ke arah urethra pars prostatika menyebabkan
aliran kemih lemah sampai menetes dengan tekanan mengejan yang meningkat (Mc.
Neal, 1983).
Timbulnya perubahan-perubahan pada kelenjar prostat dimulai sejak
umur dekade ke empat, meliputi 3 proses yang berdiri sendiri, yaitu
(1) Pembentukan nodul.
(2) Pertumbuhan difus zone transitional
(3) Pertumbuhan nodul.
Nodul ini timbul di zone transitional dan jaringan periurethral
dari kelenjar prostat (Inner zone). Pada pria umur 50-70 tahun volume
zona transisional bertambah 2 kali lipat, dan nodule hanya merupakan 14% dari
massa zona transitional. Tetapi mulai bertambahnya umur 70-80 tahun terdapat
peningkatan yang dramatis, massa nodul, merupakan sebagian besar dari
pembesaran kelenjar prostat. Pemeriksaan mikroskopis pada nodul tersebut adalah
khas suatu proses hiperplasia dari epitel dan stroma dalam berbagai proporsi
dan tingkatan bentuk.
Gambaran histologis menurut Franks (1976) ada lima tipe bentuk :
(1) Stroma,
(2) Fibromuscular,
(3) Muscular,
(4) Fibroadenomatous
(5) Fibromyoadenomatous.
Paling banyak adalah bentuk Fibroadenomatous yang terdiri dari
komponen stroma jaringan otot dan kolagen, elemen kelenjar beberapa bentuk
asinus dan kistik. Pada proses hipertropi kelenjar prostat tidak terdapatnya
gambaran mitosis sel epitel masih merupakan teka-teki. Hiperplasia nodul
kelenjar prostat menyebabkan perubahan mekanik, dan mempengaruhi vascularisasi
yang akan menyebabkan perubahan mekanik, dan mempengaruhi vascularisasi
yang akan menyebabkan infark. Terdapat sedikitnya 25% infark jaringan
hiperplasi, infark kelenjar prostat menimbulkan hematuri dan kenaikan serum
asam fosfatase.
Pertumbuhan nodul peri urethral cenderung ke proximal yang disebut
lobus medius membesar ke atas dan merusak sphincter vesicae pada leher kandung
kemih hebat. Pembesaran uvula vesicae (akibat pembesaran lobus medius)
mengakibatkan pembentukan kantung pengumpul urin dibelakang orificium
urethra internum. Urine yang tertimbun akan mengalami infeksi dan terjadi
sistitis sebagai keluhan tambahan. Pembesaran lobus medius dan lobus lateralis
menimbulkan pemanjangan, kompresi kesamping dan distori urethra sehingga
penderita mengalami kesulitan berkemih dan pancaran lemah (Blandy, 1985; Walsh et
al, 1985)
Spingter interna merupakan jaringan otot yang kompleks tersusun
atas otot polos dari proximal dan serabut seran lintang dari distal. Bagian
proximal terdiri atas serabut otot polos sirkuler urethra dan serabut otot
polos longitudinal lanjutan dari otot polos ureter distal, trigonum vesica dan
leher kandung kemih, sebagai spingter urethra interna diinervasi oleh
saraf otonom. Dan bagian distal serabut otot seran lintang berasal dari musculus
sphincter urethra externa. Mekanisme kontrol kemih tergantung pada integritas
kedua spingter tersebut. Sebagai komponen pasif (sphincter urethra interna) dan
komponen aktif (sphincter urethra externa), kerusakan otot kompleks ini
menyebabkan terjadinya inkontinensia urine (Paulson, 1989 ; Resnick et
al, 1985).
Perubahan kandung kemih akibat sumbatan pada leher kandung kemih
karena hiperplasia kelenjar prostat adalah sebagai berikut :
1. Fase kompensata
Terjadi hipertropi
musculus detrusor sehingga dinding kandung kemih bertambah kekuatan
untuk mengatasi tahanan tersebut dan dapat mengosongkan diri. Akibat hipertropi
otot detrusor tersebut pada mucosa terbentuk tonjolan-tonjolan yang
disebut trabekula. Disamping itu mukosa juga mengalami penonjolan
extra mural yang disebut sellulae dan sakkulae bila besar
tonjolan ini terus bertambah besar dan menerobos lapisan otot keluar menjadi divertikulum.
Karena divertikulum tidak dilapisi otot maka tidak mampu untuk mengosongkan
diri walaupun faktor penyebab sudah dihilangkan (perubahan irreversibel), maka
perlu dilakukan tindakan pembedahan.
2. Fase dekompensata,
Keadaan dimana kandung kemih
tidak dapat lagi mengosongkan air kemih dengan sempurna, karena nilai ambang
batas terlampaui, terjadi atoni musculus detrusor, sehingga pada
akhir miksi masih terdapat sisa dalam kandung kemih. Dan suatu saat, bila
sumbatan bertambah hebat dan sisa air kemih bertambah banyak dalam kandung
kemih, pasien tidak dapat mengosongkan kandung kemihnya meskipun kemauan kemih
ada, disebut retensio urine.
Komplikasi lebih lanjut
akibat aliran balik (refluk) terjadi hidroureter dan hidronefrosis, dan
akhirnya terjadi kegagalan ginjal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih masukannya